HARAMNYA MEROKOK

Categories

HARAMNYA MEROKOK

Telah menjelaskan para ulama tentang pengharamannya, disebabkan diantaranya :

1. Termasuk khoba’its ( Jelek/buruk).

Allah Ta’ala berfirman :

ويحرم عليهم الخبائث

“Dan mengharamkan bagi mereka segala yang buruk”. (surat al-a’raaf: 157).

2. Kandungan dan efeknya yang membahayakan.

Rokok bisa menimbulkan berbagai penyakit seperti jantung, paru, impotensi, stroke, darah tinggi, kanker dan lainnya, yang berujung membunuh sang penghirupnya.

– Allah Ta’ala berfirman :

ولا تلقوا بأيديكم إلى التهلكه

“Dan janganlah kalian menjatuhkan diri kalian sendiri ke dalam kebinasaan”. (surat al-baqarah: 195).

– Allah Ta’ala berfirman :

ولا تقتلوا أنفسكم

“Dan janganlah kalian membunuh diri-diri kalian”. (surat an-nisa’:29).

3. Membahayakan diri dan orang lain

Disebutkan para dokter bahwa perokok pasif (penghirup asap rokok) lebih berbahaya dampaknya dibanding para perokok aktif.

Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam bersabda :

لا ضرر ولا ضرار أي لا ضرر لنفسه ولا ضرر لغيره

“Janganlah membahayakan (diri sendiri) dan janganlah membahayakan (orang lain).

4. Baunya mengganggu

Bau khas yang disebabkan perokok, baik bau mulutnya, badannya, keringatnya, tangannya, dan pakaiannya. Adalah perkara yang mengganggu orang disekitarnya termasuk para malaikat.

Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam bersabda :

فاءن الملائكة تتأذى مما يتأذى منه الإنس

“Dan sesungguhnya para malaikat merasa terganggu sebagaimana manusia merasa terganggu darinya”. (Muttafaqun ‘alaih).

Allah Ta’ala tidaklah mengharamkan sesuatu kecuali untuk kebaikan hamba-Nya dan karena mudharat (bahaya) dari sesuatu tersebut.

5. Haram mengisi perut dan badan kita dengan sesuatu yang haram. Dan perkara tersebut termasuk sebab tidak terkabulnya do’a.

Dari Abu Hurairah, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Wahai sekalian manusia, sesungguhnya Allah itu thoyyib
(baik). Allah tidak akan menerima sesuatu melainkan dari yang thoyyib (baik). Dan sesungguhnya Allah telah memerintahkan kepada orang-orang mukmin seperti yang
diperintahkan-Nya kepada para Rasul.

– Allah Ta’ala berfirman : “Wahai para Rasul !, Makanlah makanan yang baik-baik (halal) dan kerjakanlah amal shalih. Sesungguhnya Aku Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan”.

– Allah Ta’ala berfirman : “Wahai orang-orang yang beriman, Makanlah rezeki yang baik-baik yang telah kami rezekikan
kepadamu”.

Kemudian Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menceritakan tentang seorang laki-laki yang telah menempuh perjalanan jauh, sehingga rambutnya kusut, masai dan berdebu. Orang itu mengangkat tangannya ke langit seraya berdo’a : “Wahai Tuhanku, wahai Tuhanku.”
Padahal, makanannya dari barang yang haram, minumannya dari yang haram, pakaiannya dari yang haram dan diberi makan dari yang haram, maka bagaimanakah Allah akan memperkenankan do’anya ?”. (HR.Muslim no. 1015).

6. Pemborosan

Allah Ta’ala berfirman : “Sesungguhnya pemboros-pemboros itu adalah saudara-saudara syaitan dan syaitan itu adalah sangat ingkar kepada Rabbnya”. (surat al-isra’: 27).

Wallahu a’lam.

Ditulis oleh : Abu Ahmad Abdurrahman ar-Ramadhani Sheher-Hadromaut Yaman

____________________

HUKUM POLIGAMI DALAM ISLAM

Syaikh bin Baz mengatakan, Berpoligami itu hukumnya sunnah bagi yang mampu, Sebagaimana Allah Ta’ala berfirman : “Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yatim (bilama kamu mengawininya), maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi, dua, tiga atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. Yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya” [An-Nisa: 3].

Dan praktek Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam itu sendiri, dimana beliau mengawini sembilan wanita dan dengan mereka Allah memberikan manfa’at besar bagi ummat ini. Yang demikian itu (sembilan istri) adalah khusus bagi beliau, sedang selain beliau dibolehkan berpoligami tidak lebih dari empat istri.

Sumber : Al-Fatawa Asy-Syar’iyyah Fi Al- Masa’il Al-Ashriyyah Min Fatawa Ulama Al-Balad Al-Haram, edisi Indonesia Fatwa-Fatwa Terkini. (Majalah Al-Balagh, edisi 1028 Fatwa Ibnu Baz).

jacksite.wordpress.com/2007/07/13/hukum-poligami-dalam-islam/

—————-

EMPAT SYARAT POLIGAMI

Syaikh Mustafa Al-Adawiy menyebutkan bahwa hukum poligami adalah sunnah. Dalam kitabnya ahkamun nikah waz zafaf, beliau mempersyaratkan empat hal :

1- Mampu berbuat adil

Seorang pelaku poligami, harus memiliki sikap adil di antara para istrinya. Tidak boleh ia condong kepada salah satu istrinya. Hal ini akan mengakibatkan kezhaliman kepada istri-istrinya yang lain.

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Siapa saja orangnya yang memiliki dua istri lalu lebih cenderung kepada salah satunya, pada hari kiamat kelak ia akan datang dalam keadaan sebagian tubuhnya miring.” (HR. Abu Dawud, An-Nasa-i, At-Tirmidzi)

Selain adil, ia juga harus seorang yang tegas. Karena boleh jadi salah satu istrinya merayunya agar ia tetap bermalam di rumahnya, padahal malam itu adalah jatah bermalam di tempat istri yang lain.

Maka ia harus tegas menolak rayuan salah satu istrinya untuk tetap bermalam di rumahnya. Jadi, jika ia tak mampu melakukan hal itu, maka cukup satu istri saja.

Allah Ta’ala berfirman : “… Kemudian jika kamu khawatir tidak mampu berbuat adil, maka nikahilah satu orang saja…” (QS. An-Nisa: 3).

2- Tidak menyebabkan lalai dalam beribadah

Seorang yang melakukan poligami, harusnya ia bertambah ketakwa’annya kepada Allah, dan rajin dalam beribadah. Namun ketika setelah ia melaksanakan syariat tersebut, tapi malah lalai beribadah, maka poligami menjadi fitnah baginya. Dan ia bukanlah orang yang pantas dalam melakukan poligami.

Allah Ta’ala berfirman : “Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya di antara isteri-isterimu dan anak-anakmu ada yang menjadi musuh bagimu, maka berhati-hatilah kamu terhadap mereka…” (QS.At-Taghabun: 14).

3- Mampu menjaga para istrinya

Sudah menjadi kewajiban bagi suami untuk menjaga istrinya. Sehingga istrinya terjaga agama dan kehormatannya. Ketika seseorang berpoligami, otomatis perempuan yang ia jaga tidak hanya satu, namun lebih dari satu. Ia harus dapat menjaga para istrinya agar tidak terjerumus dalam keburukan dan kerusakan.

Misalnya seorang yang memiliki tiga orang istri, namun ia hanya mampu memenuhi kebutuhan biologis untuk dua orang istrinya saja. Sehingga ia menelantarkan istrinya yang lain. Dan hal ini adalah sebuah kezhaliman terhadap hak istri. Dampak yang paling parah terjadi, istrinya akan mencari kepuasan kepada selain suaminya, alias berzina. Wal iyyadzubillah !

Padahal Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Wahai para pemuda, siapa saja di antara kalian yang memiliki kemapuan untuk menikah, maka menikahlah…” (HR.Al-Bukhari dan Muslim).

4- Mampu memberi nafkah

Hal ini sangat jelas, karena seorang yang berpoligami, wajib mencukupi kebutuhan nafkah para istrinya. Bagaimana ia ingin berpoligami, sementara nafkah untuk satu orang istri saja belum cukup ?

Orang seperti ini sangat berhak untuk dilarang berpoligami.

Allah Ta’ala berfirman : “Dan orang-orang yang tidak mampu menikah, hendaklah menjaga kesucian (dirinya), sampai Allah memberikan kemampuan kepada mereka dengan karunia-Nya…” (QS. An-Nur: 33)

Poligami adalah syariat mulia yang bisa bernilai ibadah. Namun untuk melaksanakan syariat tersebut membutuhkan ilmu, dan terpenuhi syarat- syaratnya. Jika kita merasa tidak mampu memenuhi 4 syarat di atas, maka jangan coba-coba untuk berpoligami.

http://muslim.or.id/keluarga/4-syarat-poligami.html

——————————

KISAH NYATA WANITA YANG MEMBENCI POLIGAMI

Banyak wanita yang hatinya menolak bahkan membenci POLIGAMI, padahal dalam al-quran sudah panjang lebar dijelaskan, begitu pula para ulama sudah panjang lebar membahasnya. namun mungkin karena ketidak tahuannya, karena minimnya ilmu, banyak wanita yang menolak bahkan membencinya.

Kenapa bisa begitu ?

Janganlah Membenci Poligami, tidakkah kamu takut bahwa perasa’an benci itu berasal dari syaithon yang menggoda manusia agar membenci Allah dan membenci apa yang telah di tetapkan-Nya

Jika syariat membolehkan tentu ada hikmah luar biasa yang hendak Allah sampaikan, namun karena dangkalnya pemahaman kita, kadang kita menolak yang demikian itu.

Sebuah kisah menarik dibawah ini, semoga bisa membuka mata hati kita semua tentang hikmah poligami islami.

Fenomena bertambahnya jumlah wanita yang terlambat menikah (perawan tua) menjadi satu perkara yang menakutkan sa’at ini, mengancam kebanyakan pemudi-pemudi di masyarakat kita yang Islami, bahkan di seluruh dunia.

Berikut ini marilah kita mendengarkan salah satu jeritan mereka :

Majalah Al-Usrah edisi 80 Dzulqa’dah 1420 H menuliskan jeritan seorang perawan tua dari Madinah Munawaroh. Berikut tulisannya :

Semula saya sangat bimbang sebelum menulis untuk kalian karena ketakutan terhadap kaum wanita karena saya tahu bahwasanya mereka akan mengatakan bahwa aku ini sudah gila, atau kesurupan. Akan tetapi, realita yang aku alami dan dialami pula oleh sejumlah besar perawan-perawan tua, yang tidak seorangpun mengetahuinya, membuatku memberanikan diri. Saya akan menuliskan kisahku ini dengan ringkas.

Ketika umurku mulai mendekati 20 tahun, saya seperti gadis lainnya memimpikan seorang pemuda yang multazim dan berakhlak mulia. Dahulu saya membangun pemikiran serta harapan-harapan, bagaimana kami hidup nanti dan bagaimana kami mendidik anak-anak kami . .

Saya adalah salah seorang yang sangat memerangi ta’adud (poligami). Hanya semata mendengar orang berkata kepadaku, “Fulan menikah lagi yang kedua”, tanpa sadar saya mendoakan agar ia celaka. Saya berkata, “Kalau saya adalah istrinya yang pertama, pastilah saya akan mencampakkannya, sebagaimana ia telah mencampakkanku’. Saya sering berdiskusi dengan saudaraku dan terkadang dengan pamanku mengenai masalah ta’addud. Mereka berusaha agar saya mau menerima ta’addud, sementara saya tetap keras kepala tidak mau menerima syari’at ta’addud.

Saya katakan kepada mereka, ‘Mustahil wanita lain akan bersama denganku mendampingi suamiku”.

Terkadang saya menjadi penyebab munculnya problema-problema antara suami-istri karena ia ingin memadu istri pertamanya, saya menghasutnya sehingga ia melawan kepada suaminya.

Begitulah, hari terus berlalu sedangkan aku masih menanti pemuda impianku. Saya menanti… akan tetapi ia belum juga datang dan saya masih terus menanti. Hampir 30 tahun umurku dalam penantian. Telah lewat 30 tahun… oh Illahi, apa yang harus kuperbuat ?

Apakah saya harus keluar untuk mencari pengantin laki-laki ? Saya tidak sanggup, orang-orang akan berkata wanita ini tidak punya malu.

Jadi, apa yang akan saya kerjakan ? Tidak ada yang bisa saya perbuat, selain dari menunggu.

Pada suatu hari ketika saya sedang duduk-duduk, saya mendengar salah seorang dari wanita berkata, “Fulanah jadi perawan tua”. Aku berkata kepada diriku sendiri, “Kasihan Fulanah jadi perawan tua”, akan tetapi… fulanah yang dimaksud itu ternyata aku.

Ya Illahi ! Sesungguhnya itu adalah namaku… saya telah menjadi perawan tua. Bagaimanapun saya melukiskannya kepada kalian, kalian tidak akan bisa merasakannya. Saya dihadapkan pada sebuah kenyata’an sebagai perawan tua.

Saya mulai mengulang kembali perhitungan-perhitunganku, apa yang saya kerjakan ?

Waktu terus berlalu, hari silih berganti, dan saya ingin menjerit. Saya ingin seorang suami, seorang laki-laki tempat saya bernaung di bawah naungannya, membantuku menyelesaikan problema-problemaku… Saudaraku yang laki-laki memang tidak melalaikanku sedikitpun, tetapi dia bukan seperti seorang suami.

Saya ingin hidup, ingin melahirkan, dan menikmati kehidupan. Akan tetapi, saya tidak sanggup mengucapkan perkata’an ini kepada kaum laki-laki. Mereka akan mengatakan, “Wanita ini tidak malu”. Tidak ada yang bisa saya lakukan selain daripada diam. Saya tertawa… akan tetapi bukan dari hatiku. Apakah kalian ingin saya tertawa, sedangkan tanganku menggenggam bara api ? Saya tidak sanggup…

Suatu hari, saudaraku yang paling besar mendatangiku dan berkata, “Hari ini telah datang calon pengantin, tapi saya menolaknya…” Tanpa terasa saya berkata, “Kenapa kamu lakukan ? Itu tidak boleh !”

Ia berkata kepadaku, “Dikarenakan ia menginginkanmu sebagai istri kedua, dan saya tahu kalau kamu sangat memerangi ta’addud (poligami).”

Hampir saja saya berteriak di hadapannya, “Kenapa kamu tidak menyetujuinya ?” Saya rela menjadi istri kedua, atau ketiga, atau keempat… Kedua tanganku di dalam api. Saya setuju, ya saya yang dulu memerangi ta’addud, sekarang menerimanya. Saudaraku berkata, “Sudah terlambat”

Sekarang saya mengetahui hikmah dalam ta’addud. Satu hikmah ini telah membuatku menerima, bagaimana dengan hikmah-hikmah yang lain ?

Ya ALlah, ampunilah dosaku. Sesungguhnya saya dahulu tidak mengetahui.

Kata-kata ini saya tujukan untuk kaum laki-laki, “Berta’addudlah, nikahilah satu, dua, tiga, atau empat dengan syarat mampu dan adil.

Saya ingatkan kalian dengan firman-Nya, “… Maka nikahilah olehmu apa yang baik bagimu dari wanita, dua, atau tiga, atau empat, maka jika kalian takut tidak mampu berlaku adil, maka satu…

”Selamatkanlah kami. Kami adalah manusia seperti kalian, merasakan juga kepedihan. Tutupilah kami, kasihanilah kami.”

Dan kata-kata berikut saya tujukan kepada saudariku muslimah yang telah bersuami, “Syukurilah nikmat ini karena kamu tidak merasakan panasnya api menjadi perawan tua. Saya harap kamu tidak marah apabila suamimu ingin menikah lagi dengan wanita lain. Janganlah kamu mencegahnya, akan tetapi doronglah ia. Saya tahu bahwa ini sangat berat atasmu. Akan tetapi, harapkanlah pahala di sisi Allah. Lihatlah keada’an suadarimu yang menjadi perawan tua, wanita yang dicerai, dan janda yang ditinggal mati, siapa yang akan mengayomi mereka ? Anggap lah ia saudarimu, kamu pasti akan mendapatkan pahala yang sangat besar dengan kesabaranmu”

Engkau mungkin mengatakan kepadaku, “Akan datang seorang bujangan yang akan menikahinya”. Saya katakan kepadamu,“Lihatlah sensus penduduk. Sesungguhnya jumlah wanita lebih banyak daripada laki-laki. Jika setiap laki-laki menikah dengan satu wanita, niscaya banyak dari wanita-wanita kita yang menjadi perawan tua. Jangan hanya memikirkan diri sendiri saja. Akan tetapi, pikirkan juga saudarimu. Anggaplah dirimu berada dalam posisinya”.

Engkau mungkin juga mengatakan, “Semua itu tidak penting bagiku, yang penting suamiku tidak menikah lagi.” Saya katakan kepadamu, “Tangan yang berada di air tidak seperti tangan yang berada di bara api. Ini mungkin terjadi.

Jika suamimu menikah lagi dengan wanita lain, ketahuilah bahwasanya dunia ini adalah fana, akhiratlah yang kekal.

Janganlah kamu egois, dan janganlah kamu halangi saudarimu dari nikmat ini. “Tidak akan sempurna keimanan seseorang sehingga ia mencintai untuk saudaranya apa yang ia cintai untuk dirinya sendiri.” (HR. Bukhari dalam kitab Iman).

Demi Allah, kalau kamu merasakan api menjadi perawan tua, kemudian kamu menikah, kamu pasti akan berkata kepada suamimu “Menikahlah dengan saudariku dan jagalah ia”.

Ya Allah, sesungguhnya kami memohon kepadamu kemulia’an, kesucian, dan suami yang shalih”

(Buku “Istriku Menikahkanku”, As-Sayid bin Abdul Aziz As- Sa’dani, Darul Falah, cet. Agustus 2004).

__________________

ARTI SIKAP ADIL DALAM POLIGAMI

Allah Ta’ala memerintahkan kepada semua manusia untuk selalu bersikap adil dalam semua keadaan, baik yang berhubungan dengan hak-Nya maupun hak-hak sesama manusia, yaitu dengan mengikuti ketentuan syariat Allah Ta’ala dalam semua itu, karena Allah Ta’ala mensyariat kan agamanya di atas keadilan yang sempurna.

Allah Ta’ala berfirman :
“Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) berlaku adil dan berbuat kebajikan, memberi kepada kaum kerabat, dan Allah melarang dari perbuatan keji, kemungkaran dan permusuhan. Dia memberi pengajaran kepadamu agar kamu dapat mengambil pelajaran” (QS,an-Nahl:90).

Termasuk dalam hal ini, sikap “adil” dalam poligami, yaitu adil (tidak berat sebelah) dalam mencukupi kebutuhan para istri dalam hal makanan, pakaian, tempat tinggal dan bermalam bersama mereka.

Dan ini tidak berarti harus adil dalam segala sesuatu, sampai dalam hal yang sekecil-kecilnya, yang ini jelas di luar kemampuan manusia.

Sebab timbulnya kesalah pahaman dalam masalah ini, di antaranya karena hawa nafsu dan ketidak pahaman terhadap agama, termasuk kerancuan dalam memahami firman Allah Ta’ala, Bahkan kesalah pahaman dalam memahami ayat ini menyebabkan sebagian orang beranggapan bahwa poligami tidak boleh dilakukan, karena orang yang berpoligami tidak mungkin bisa bersikap adil. Kita berlindung kepada Allah dari penyimpangan dalam memahami agama-Nya.

“Dan kamu sekali-kali tidak akan dapat berlaku adil diantara istri-istri(mu), walaupun kamu sangat ingin berbuat demikian, karena itu janganlah kamu terlalu cenderung (kepada yang kamu cintai), sehingga kamu biarkan kamu biarkan yang lain terkatung-katung” (QS an-Nisaa’:129).

Marilah kita lihat bagaimana para ulama Ahlus sunnah memahami firman Allah yang mulia ini.

– Imam asy-Syafi’i berkata :
“Sebagian dari para ulama ahli tafsir (menjelaskan makna firman Allah Ta’ala): “Dan kamu sekali- kali tidak akan dapat berlaku adil diantara istri-istri(mu)…”, (artinya: berlaku adil) dalam perasaan yang ada dalam hati (rasa cinta dan kecenderungan hati), karena Allah Ta’ala mengampuni bagi hamba-hamaba-Nya terhadap apa yang terdapat dalam hati mereka. “… karena itu jangan lah kamu terlalu cenderung (kepada yang kamu cintai)…” artinya: janganlah kamu memperturutkan keinginan hawa nafsumu dengan melaku kan perbuatan (yang menyimpang dari syariat). Dan penafsiran ini sangat sesuai / tepat. Wallahu a’lam” (Kitab “al-Umm” (5/158).

– Imam al-Bukhari membawakan firman Allah Ta’ala ini dalam bab : al-‘adlu bainan nisaa’ :bersikap adil di antara para istri (Shahihul Bukhari :5/1999), dan Imam Ibnu Hajar menjelaskan makna ucapan imam al-Bukhari tersebut, beliau berkata, “Imam al-Bukhari mengisyaratkan dengan membawakan ayat tersebut bahwa (adil) yang dinafikan dalam ayat ini (adil yang tidak mampu dilakukan manusia) adalah adil di antara istri-istrinya dalam semua segi, dan hadits Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam (yang shahih) menunjukkan bahwa yang dimaksud dengan adil (dalam poligami) adalah menyamakan semua istri (dalam kebutuhan mereka) dengan (pemberian) yang layak bagi masing-masing dari mereka. Jika seorang suami telah menunaikan bagi masing-masing dari para istrinya (kebutuhan mereka yang berupa) pakaian, nafkah (biaya hidup) dan bermalam dengan nya (secara layak), maka dia tidak berdosa dengan apa yang melebihi semua itu, berupa kecenderungan dalam hati, atau memberi hadiah kepada salah satu dari mereka.

– Imam at-Tirmidzi berkata :
“Artinya : kecintaan dan kecenderungan (dalam hati)”.

– Imam al-Baihaqi meriwayat kan dari jalan ‘Ali bin Abi Thalhah, dari Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma beliau berkata ketika menafsirkan ayat di atas, “Yaitu : kecintaan (dalam hati) dan jima’ (hubungan intim)-(Fathul Baari:9/313).

– Imam al-Qurthubi berkata :
“(Dalam ayat ini) Allah Ta’ala memberitakan ketidak mampuan (manusia) untuk bersikap adil di antara istri-istrinya, yaitu(menyamakan) dalam kecenderungan hati dalam cinta, berhubungan intim dan ketertarikan dalam hati. (Dalam ayat ini) Allah menerang kan keadaan manusia bahwa mereka secara (asal) penciptaan tidak mampu menguasai kecenderungan hati mereka kepada sebagian dari istri-istrinya melebihi yang lainnya. Oleh karena itulah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata (dalam doa beliau), “Ya Allah, inilah pembagianku (terhadap istri-istriku) yang aku mampu (lakukan), maka janganlah Engkau mencelaku dalam perkara yang Engkau miliki dan tidak aku miliki”. (Hadits ini lemah, diriwayatkan oleh Abu Dawud no. 2134, Irwa-ul ghalil)

Kemudian Allah berfirman : “karena itu janganlah kamu terlalu cenderung (kepada yang kamu cintai)”, Imam Mujahid berkata : ” kamu sengaja berbuat buruk (aniaya terhadap istri-istrimu), akan tetapi tetaplah berlaku adil dalam pembagian (giliran) dan memberi nafkah (biaya hidup), karena ini termsuk perkara yang mampu (dilakukan manusia)”[Tafsiirul Qurthubi:5/387]

– Imam Ibnu Katsir berkata :
“Arti (ayat di atas) Wahai manusia, kamu sekali-kali tidak akan dapat bersikap adil (menyamakan) di antara para istrimu dalam semua segi, karena meskipun kamu membagi giliran mereka secara lahir semalam-semalam, (akan tetapi) mesti ada perbedaan dalam kecintaan (dalam hati), keinginan syahwat dan hubungan intim, sebagaimana keterangan Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma, ‘Ubaidah as-Salmaani, Hasan al-Bashri, dan Dhahhak bin Muzahim” (Ibnu Katsir:1/747)

Demikianlah penafsiran para ulama (ahli tafsir).

http://muslim.or.id/muslimah/poligami-bukti-keadilan-hukum-allah.html

——————–

MENEMPATKAN DUA ISTRI DALAM SATU RUMAH

Boleh menempatkan istri-istri dalam satu rumah apabila mereka ridha.

Al-Imam Ibnu Qudamah menerangkan, “Tidak boleh seorang suami mengumpulkan dua istri dalam satu tempat tinggal tanpa keridhaan keduanya, baik istri muda maupun istri tua, karena mudarat yang bisa muncul di antara keduanya, yaitu permusuhan dan kecemburuan.

Apabila keduanya dikumpulkan akan mengobarkan pertikaian dan permusuhan. Yang satu akan mendengar atau melihat ketika suaminya “mendatangi” istri yang lain.

Namun, jika kedua istri ridha, hal itu dibolehkan. Sebab, hal itu menjadi hak keduanya dan mereka bisa menggugurkannya. Demikian pula, apabila kedua nya ridha suami tidur di antara keduanya dalam satu selimut.

Namun, apabila keduanya ridha suami mencampuri salah satu nya dan yang lainnya menyaksi kan, hal ini tidaklah diperboleh kan.

Sebab, hal ini adalah perbuatan yang rendah, tidak pantas, dan menjatuhkan kehormatan. Karena itu, walaupun keduanya ridha, tetap tidak diperkenan kan. (al-Mughni, “Kitab
‘Isyratun Nisa”, “Fashl an Yajma’a Baina Imra’ataihi fi Maskan Wahid”)

Al-Imam al-Qurthubi rahimahullah juga menyatakan bolehnya mengumpulkan istri dalam satu rumah apabila mereka ridha. (al-Jami’li Ahkamil Qur’an, 14/140)

(http://asysyariah.com/kajian-utama-aturan-dalam-poligami/)

————–

ANJING TIDAK “NAJIS” ?

Perbeda’an para ulama tentang najis dan tidaknya anjing tidak terlepas dari pemahaman mereka terhadap hadits berikut :

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَال إِنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ إِذَا شَرِبَ الْكَلْبُ فِي إِنَاءِ أَحَدِكُمْ فَلْيَغْسِلْهُ سَبْعًا. صحيح البخاري – (ج 1 / ص 298)

Dari Abu Hurairah, dia berkata, Sesungguhnya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda : “Apabila Anjing minum pada bejana salah seorang dari kamu, maka cucilah tujuh kali”. (HR Al-Bukhariy).

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ طَهُورُ إِنَاءِ أَحَدِكُمْ إِذَا وَلَغَ فِيهِ الْكَلْبُ أَنْ يَغْسِلَهُ سَبْعَ مَرَّاتٍ أُولَاهُنَّ بِالتُّرَابِ. (صحيح مسلم – (ج 2 / ص 121)

Dari Abu Hurairah, ia berkata, Rasulullah saw telah bersabda : “Sucinya bejana salah seorang dari kamu apabila dijilat oleh anjing dengan mencucinya tujuh kali yang pertama kali dengan tanah”. (HR Muslim).

Berdasarkan hadis tersebut di atas sedikitnya ada tiga pendapat dalam madzhab fiqih yang empat tentang kenajisan anjing, yaitu :

1. MADZHAB AL-HANAFIYAH

Dalam mazhab ini, yang najis dari anjing hanyalah air liurnya, mulutnya dan kotorannya.

Sedangkan tubuh dan bagian lainnya tidak dapat di qiyaskan (di samakan) sehingga tidak dapat dianggap najis.

Kedudukannya sebagaimana hewan yang lainnya, bahkan umumnya anjing bermanfa’at banyak buat manusia. Misalnya sebagai hewan penjaga atau pun hewan untuk berburu.

Sebab dalam hadits tentang najisnya anjing, yang ditetapkan sebagai najis hanya bila anjing itu minum di suatu wadah air. Maka hanya bagian mulut dan air liurnya saja (termasuk kotorannya) yang dianggap najis.

2. MADZHAB AS-SYAFI’I DAN AL-HANABILAH

Kedua mazhab ini sepakat mengatakan bahwa bukan hanya air liurnya saja yang najis, tetapi seluruh tubuh anjing itu hukumnya najis berat, termasuk keringatnya. Bahkan hewan lain yang kawin dengan anjing pun ikut hukum yang sama pula. Dan untuk mensucikannya harus dengan mencucinya tujuh kali dan salah satunya dengan tanah. Pendapat ini berdasarkan beberapa dalil,

Dalil pertama adalah berdasarkan kaidah qiyas :

Sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam untuk membasuh bekas yang diminum oleh anjing adalah dalil bagi menunjukkan najisnya lidah, air liur dan mulut anjing.

Memperhatikan lidah dan mulut merupakan anggota utama hewan dan dikategorikan sebagai najis maka sudah barang tentu anggota tubuh yang lainnya, yakni seluruh badannya adalah najis juga.

Sebab sumber air liur itu dari badannya. Maka badannya itu juga merupakan sumber najis. Termasuk air yang keluar dari tubuh itu juga, baik kencing, kotoran dan juga keringatnya.

Dalil kedua adalah berdasarkan sebuah hadis :

أَنَّه صَلَّى الله عليه وسلم دُعِيَ إِلَى دَارِ قَوْمٍ فَأَجَابَ ثُمَّ دُعِيَ إِلَى دَارٍ أُخْرَى فَلَمْ يُجِبْ فَقِيْلَ لَهُ فِى ذَلِكَ فَقَالَ: إِنَّ فِى دَارِ فُلاَنٍ كَلْبًا قِيْلَ لَهُ : وَ إِنَّ فِى دَارِ فُلاَنٍ هِرَّةً, فَقاَلَ : إِنَّ اْلهِرَّةَ لَيْسَتْ بِنَجَسَةٍ. (رواه الدارقطنى و الحاكم)

Bahwa Rasululah Shallallahu ‘alaihi wasallam diundang masuk ke rumah salah seorang kaum dan beliau mendatangi undangan itu. Di kala lainya, kaum yang lain mengundangnya dan beliau tidak mendatanginya. Ketika ditanyakan kepada beliau apa sebabnya beliau tidak mendatangi undangan yang kedua, beliau bersabda : “Di rumah yang kedua ada anjing sedangkan di rumah yang pertama hanya ada kucing. Dan kucing itu itu tidak najis”. (HR Al-Hakim dan Ad-Daruquthuny).

Dari hadits ini dapat dipahami bahwa kucing itu tidak najis, sedangkan anjing itu najis.

• ANJING TIDAK NAJIS MENURUT MADZHAB AL-MALIKIYAH

Madzhab ini menyatakan bahwa anjing tidak najis keseluruhannya. Sedangkan perintah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam untuk membasuh bekas bejana yang diminum oleh anjing bukanlah disebabkan oleh kenajisan mulut, lidah dan air liur anjing tersebut, tetapi disebabkan keta’atan kepada Allah semata-mata (ta’abudi).

Mereka berpendapat demikian dengan merujuk kepada hadis-hadis Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam lainnya yang membenarkan penggunaan anjing terlatih untuk berburu dan tidak ada seekor anjing pemburu pun yang membunuh mangsanya melainkan melalui gigitan mulutnya. Hewan yang ditangkap oleh anjing buruan tersebut adalah tetap suci untuk dimakan seluruhnya berdasarkan firman Allah Subhanahu wa Ta`ala :

يَسْأَلُونَكَ مَاذَا أُحِلَّ لَهُمْ قُلْ أُحِلَّ لَكُمُ الطَّيِّبَاتُ وَمَا عَلَّمْتُمْ مِنَ الْجَوَارِحِ مُكَلِّبِينَ تُعَلِّمُونَهُنَّ مِمَّا عَلَّمَكُمُ اللَّهُ فَكُلُوا مِمَّا أَمْسَكْنَ عَلَيْكُمْ وَاذْكُرُوا اسْمَ اللَّهِ عَلَيْهِ وَاتَّقُوا اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ سَرِيعُ الْحِسَابِ

Mereka menanyakan kepadamu: “Apakah yang dihalalkan bagi mereka ?” Katakanlah : “Dihalalkan bagimu yang baik-baik dan (buruan yang ditangkap) oleh binatang buas (مُكَلِّبِينَ : anjing) yang telah kamu ajar dengan melatihnya untuk berburu, kamu mengajarnya menurut apa yang telah diajarkan Allah kepadamu, Maka makanlah dari apa yang ditangkapnya untukmu, dan sebutlah nama Allah atas binatang buas itu (waktu melepasnya). Dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah amat cepat hisab-Nya”. )QS. Al-Maidah: 4)

Apa-apa yang digigit oleh anjing tersebut adalah halal dimakan. Maka, di manakah letak kenajisan anjing itu ?

Berdasarkan ayat di atas dan hadis-hadis yang membenarkan penggunaan anjing terlatih untuk berburu, mazhab Maliki berpendapat bahwa mulut, lidah dan air liur anjing bukanlah najis.

(ketiga pendapat di atas dapat dilihat dalam Al-Fiqhul Al-Islamiy I : 153-154 , Subulus-Salam I : 17, 22, 23 , Ibanatul-Ahkam I : 32).

• PENDAPAT YANG PALING KUAT

Pendapat yang paling kuat adalah pendapat yang ketiga. Dengan alasan sebagai berikut :

Pertama, Kaidah qiyas yang digunakan untuk menghukumi seluruh anjing sebagai najis adalah qiyas yang lemah. Karena :

1. Asal pengguna’an kaidah qiyas adalah untuk mencari hukum terhadap urusan baru yang tidak terdapat pada zaman turunnya wahyu (al- Qur’an dan al-Sunnah).

Menggunakan qiyas untuk menetapkan bahwa keseluruhan anjing adalah najis tidak dianggap kuat karena anjing pada asalnya sudah ada pada zaman turunnya wahyu. Berarti dia bukan merupakan urusan yang baru.

Apabila sesuatu urusan sudah terdapat di zaman turunnya wahyu dan tidak ada wahyu yang menerangkan hukumnya, berarti tidak ada ketentuan hukum tentangnya.

Apabila tidak ada ketentuan hukum yang diturunkan, maka kembali kepada kedudukan yang asal, yaitu halal dan bersih.

Allah Ta’ala berfirman :

هُوَ الَّذِي خَلَقَ لَكُمْ مَا فِي الْأَرْضِ جَمِيعًا. الآية- (البقرة : 29)

“Dia-lah Allah, yang menjadikan segala yang ada di bumi untuk kamu”. (QS Al-Baqarah: 29).

– Allah Ta’ala berfirman :

وَسَخَّرَ لَكُمْ مَا فِي السَّمَاوَاتِ وَمَا فِي الْأَرْضِ جَمِيعًا مِنْهُ إِنَّ فِي ذَلِكَ لَآَيَاتٍ لِقَوْمٍ يَتَفَكَّرُونَ

Dan Dia menundukkan untukmu apa yang ada di langit dan apa yang ada di bumi semuanya, (sebagai rahmat) daripada-Nya. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda (kekuasaan Allah) bagi kaum yang berpikir. [QS. Al-Jatsiyah :13]

أَلَمْ تَرَوْا أَنَّ اللَّهَ سَخَّرَ لَكُمْ مَا فِي السَّمَاوَاتِ وَمَا فِي الْأَرْضِ وَأَسْبَغَ عَلَيْكُمْ نِعَمَهُ ظَاهِرَةً وَبَاطِنَةً وَمِنَ النَّاسِ مَنْ يُجَادِلُ فِي اللَّهِ بِغَيْرِ عِلْمٍ وَلَا هُدًى وَلَا كِتَابٍ مُنِيرٍ

Tidakkah kamu perhatikan sesungguhnya Allah telah menundukkan untuk (kepentingan) mu apa yang di langit dan apa yang di bumi dan menyempurnakan untukmu nikmat-Nya lahir dan batin. Dan di antara manusia ada yang membantah tentang (keesaan) Allah tanpa ilmu pengetahuan atau petunjuk dan tanpa Kitab yang memberi penerangan. [QS. Luqman : 20].

Jadi, anjing adalah hewan yang telah ada pada zaman Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam. Apabila tidak ada ketentuan hukum yang diturunkan dalam persoalan najis atau tidaknya, berarti hukum anjing kembali kepada yang asal, yaitu hewan yang tidak najis.

2. Kalaulah bentuk qiyasnya seperti tersebut dalam pendapat mazhab Syafi’iyyah dan Hanabalah, maka bisakah dikatakan ketika Rasulullah memerintahkan untuk mencuci bekas kencing atau buang air besar karena najisnya, lalu kita berpendapat bahwa seluruh tubuhnya juga najis untuk disentuh karena berasal dari sumber yang sama ? Tentu saja hal tersebut tidak dapat diterima.

Kedua : Hadis yang menerangkan keengganan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam memenuhi undangan karena ada anjing di dalam rumah adalah lemah (dha`if), karena pada sanadnya terdapat rawi yang bernama Isa bin Al-Musayyab Al-Bajaliy Al-Kufi.

Ibnu ma’in, Abu Daud, An-Nasai, Abu Zur’ah, Ibnu Hibban dan Ad-Daraquthni mengatakan dia rawi dha’if, Abu Hatim mengatakan: “laisa bil qawiy” (dia rawi yang tidak kuat). (lihat Tahqiq musnad Ahmad I: 242, XIV : 84, Lisanul-Mizan II : 278, Al-Majruhin II. 119, Mizanul-I’tidal III : 323, Ad-Dhu’afa wal Matrukin I : 216).

Ketiga : Hadis yang dijadikan dalil dalam Mazhab al-Syafi’iy berakhir dengan lafaz : إِنَّ اْلهِرَّةَ لَيْسَتْ بِنَجَسَةٍ “Sesungguhnya kucing bukan najis.” Lafaz ini tidak ditemukan dalam kitab hadits mana pun. Yang ada hanyalah perkataan “Kucing adalah sejenis binatang buas (yakni tidak tetap penjagaannya, sering merayau-rayau).”

Lafaz hadis yang terdapat dalam Sunan al-Daruquthni adalah :

– حَدَّثَنَا الْحُسَيْنُ بْنُ إِسْمَاعِيلَ حَدَّثَنَا أَحْمَدُ بْنُ مَنْصُورٍ حَدَّثَنَا أَبُو النَّضْرِ حَدَّثَنَا عِيسَى بْنُ الْمُسَيَّبِ حَدَّثَنِى أَبُو زُرْعَةَ عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ قَالَ كَانَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- يَأْتِى دَارَ قَوْمٍ مِنَ الأَنْصَارِ وَدُونَهُمْ دَارٌ فَشَقَّ ذَلِكَ عَلَيْهِمْ فَقَالُوا يَا رَسُولَ اللَّهِ تَأْتِى دَارَ فُلاَنٍ وَلاَ تَأْتِى دَارَنَا فَقَالَ النَّبِىُّ -صلى الله عليه وسلم- « لأَنَّ فِى دَارِكُمْ كَلْبًا ». قَالُوا فَإِنَّ فِى دَارِهِمْ سِنَّوْرًا فَقَالَ النَّبِىُّ -صلى الله عليه وسلم- « السِّنَّوْرُ سَبُعٌ ». (سنن الدارقطني – (ج 1 / ص 204)

Lafaz hadis yang terdapat dalam Mustadrak Al-Hakim adalah :

– أخبرنا عبد الله بن الحسين القاضي ، ثنا الحارث بن أبي أسامة ، ثنا أبو النضر هاشم بن القاسم ، ثنا عيسى بن المسيب ، ثنا أبو زرعة ، عن أبي هريرة ، قال : كَانَ رَسُوْلُ الله صلى الله عليه وسلم يَأْتِي دَارَ قَوْمٍ مِنَ اْلأَنْصَارِ وَدُوْنَهُمْ دُوَرٌ لاَ يَأْتِيْهَا ، فَشَقَّ ذَلِكَ عَلَيْهِمْ ، فَقَالُوْا : يَا رَسُوْلَ الله تَأْتِي دَارَ فُلاَنٍ وَلاَ تَأْتِي دَارَنَا ، فَقَالَ النَّبِيُّ صلى الله عليه وسلم : « إِنَّ فِي دَارِكُمْ كَلْبًا » ، قَالُوْا إِنَّ فِي دَارِهِمْ سِنَّوْرًا ، فَقَالَ النَّبِيُّ صلى الله عليه وسلم : « اّلسِّنَّوْرُ سَبُعٌ » . )المستدرك على الصحيحين للحاكم – (ج 2 / ص 152(

Lafaz hadis yang terdapat dalam Musnad Ahmad adalah :

– حَدَّثَنَا هَاشِمٌ حَدَّثَنَا عِيسَى يَعْنِي بْنَ الْمُسَيَّبِ حَدَّثَنِي أَبُو زُرْعَةَ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَأْتِي دَارَ قَوْمٍ مِنْ الْأَنْصَارِ وَدُونَهُمْ دَارٌ قَالَ فَشَقَّ ذَلِكَ عَلَيْهِمْ فَقَالُوا يَا رَسُولَ اللَّهِ سُبْحَانَ اللَّهِ تَأْتِي دَارَ فُلَانٍ وَلَا تَأْتِي دَارَنَا قَالَ فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لِأَنَّ فِي دَارِكُمْ كَلْبًا قَالُوا فَإِنَّ فِي دَارِهِمْ سِنَّوْرًا فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِنَّ السِّنَّوْرَ سَبُعٌ )مسند أحمد – (ج 17 / ص 34)

Oleh karena itu hadis yang dijadikan dalil tentang najisnya anjing tidak dapat diterima, dilihat dari dua aspek, pertama adalah kelemahan sanadnya dan yang kedua adalah tambahan lafaz “Sesungguhnya kucing bukan najis” yang tidak ditemukan dalam kitab hadis manapun..

Keempat : Terdapat beberapa hadits yang menunjukkan tidak najisnya anjing. Hadits-hadisnya antara lain sebagai berikut :

عَنْ ابن عمر قَالَ كَانَتْ الْكِلَابُ تَبُولُ وَتُقْبِلُ وَتُدْبِرُ فِي الْمَسْجِدِ فِي زَمَانِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَلَمْ يَكُونُوا يَرُشُّونَ شَيْئًا مِنْ ذَلِكَ. (البخاري)

Dari Ibnu Umar, berkata : “Adalah anjing-anjing kencing, datang dan pergi dalam masjid di zaman Nabi saw tetapi sahabat-sahabat tidak menyiram sedikitpun dari yang demikian itu”. (HR Al-Bukhariy).

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ : سُئِلَ رَسُوْلُ الله صلى الله عليه وسلم عَنِ اْلحِيَاضِ اَّلتِى تَكُوْنُ بَيْنَ مَكَّةَ وَ اْلمَدِيْنَةَ فَقِيْلَ إِنَّ اْلكِلاَبَ وَ السِّبَاعَ تَرِدُ عَلَيْهَا فَقَالَ لَهَا لِمَا أَخَذَتْ فِى بُطُوْنِهَا وَ لَنَا مَا بَقِيَ شَرَابٌ طَهُوْرٌ. (الدارقطنى و غيره)

Dari Abu Hurairah, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam ditanya tentang telaga-telaga yang ada di antara makkah dan madinah. Ada orang berkata, sesungguhnya anjing-anjing dan binatang buas minum dari telaga itu. Sabda Nabi : “Bagi binatang-binatang itu apa-apa yang telah diambilnya dalam perut-perutnya, dan bagi kita apa-apa yang tersisa sebagai minuman yang suci”.(HR Ad-Daraquthiy).

عَنْ عَدِيِّ بْنِ حَاتِمٍ قَالَ سَأَلْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قُلْتُ أُرْسِلُ كِلَابِي الْمُعَلَّمَةَ قَالَ إِذَا أَرْسَلْتَ كِلَابَكَ الْمُعَلَّمَةَ وَذَكَرْتَ اسْمَ اللَّهِ فَأَمْسَكْنَ فَكُلْ. (صحيح البخاري – (ج 22 / ص 399)

Dari Adi bin Hatim ia berkata : saya bertanya kepada Nabi saw mengenai anjing-anjing yang saya pakai untuk berburu. Beliau menjawab : “Apabila kamu melepaskan anjing berburumu sambil menyebut nama Allah, lalu dia mendapatkan buruan, maka makanlah”. (HR Al-Bukhariy).

muslimnurdin.wordpress.com/2010/11/03/anjing-tidak-najis/

___________________________

Haramkah sistem keraja’an menurut syar’i ?

1.  Nabi Daud dan Nabi Sulaiman adalah raja. Nabi Daud mewariskan kerajaannya kpd Nabi Sulaiman.

2.  Jika kerajaan itu haram, tentu ada jejak perkataan Rasulullah saw ttg kerajaan. Padahal model kerajaan itu sdh lama berlangsung. AFAIK, Rasulullah saw tdk mengharamkan kerajaan, juga tdk menyatakan satu model pemerintahan lain yg sah dalam Islam. Kepada para raja, Rasulullah saw mengajak ke Islam dan tdk menyuruhnya turun tahta.

3.  Adakah ulama yg mengharamkan proses penunjukan khilafah dari keturunan pada masa itu? Bahkan Umar bin Abdul ‘Azis adalah bagian dari proses itu. Apakah beliau mengingkari sunnah Rasulullah Sallalohu ‘Alaihi Wasallam ?

4.  Sebenarnya, yg dikehendaki Islam itu model pemerintahan atau kepemimpinan ? IMHO, tdk masalah pemimpin itu ditunjuk atau dipilih rakyat. Yang menjadi sunnah Rasulullah saw adalah kepemimpinan yg adil tidak dzalim, bukan masalah model pemerintahannya. Model pemerintahan itu tergantung kondisi masyarakat, dan bisa berubah.

Jika ada presiden yg menaungi seluruh ummat Islam, maka ia khilafah. Jika ada raja yg menaungi seluruh ummat Islam, maka ia khilafah. Allahu a’lam.

( di ambil dri komentar di wordpress )

Larangan Menyemir Rambut Dengan Warna Hitam

Banyak cara yang dilakukan wanita untuk tampil beda. Salah satunya menyemir rambut. Hal ini mereka lakukan sebagai satu cara agar tampak lebih cantik, menurut anggapan mereka tentunya. Bagaimana Islam memandang hal ini?

Budaya menyemir rambut telah sedemikian menggejala. Banyak kita dapati para ibu dan remaja putri berambut pirang, atau warna lainnya yang berbeda dengan warna rambutnya yang asli.

Adapun menyemir rambut dengan warna selain hitam adalah sesuatu yang lumrah dari kacamata syariat, bagi seorang tua yang telah beruban atau mereka yang beruban sebelum waktunya. Lalu bagaimana hukumnya bila yang melakukan hal ini selain mereka?

Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-’Utsaimin dan Asy-Syaikh Shalih Al-Fauzan pernah ditanya tentang permasalahan ini. Fatwa keduanya yang dinukil dari kitab Fatawa Al-Mar’ah (1/520-522), terangkum dalam pembahasan berikut (disertai beberapa tambahan).

Masalah mewarnai (menyemir) rambut itu sendiri bisa dirinci sebagai berikut:

1. Menyemir rambut yang telah beruban dengan menggunakan inai/pacar atau yang selainnya. Hal ini merupakan sunnah yang diperintahkan dalam rangka menyelisihi orang-orang Yahudi dan Nashrani karena mereka membiarkan ubannya dan tidak menyemirnya. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
“Sesungguhnya Yahudi dan Nashrani tidak menyemir ubannya, maka selisihilah mereka.” (Shahih, HR. Al-Bukhari dan Muslim dalam Shahih keduanya)

Namun tidak boleh mengecat/menyemir uban dengan warna hitam murni karena adanya larangan dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam.

Jabir radhiyallahu ‘anhu berkata: “Didatangkan Abu Quhafah, ayah Abu Bakar Ash-Shiddiq radhiyallahu ‘anhu, ke hadapan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam pada hari Fathu Makkah, dalam keadaan rambut dan jenggotnya memutih dipenuhi uban. Melihat hal tersebut bersabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam:
“Ubahlah uban ini dan jauhilah warna hitam.” (Shahih, HR. Muslim dalam Shahih-nya)

Larangan menyemir dengan warna hitam dalam hadits di atas, hukumnya umum, mencakup laki-laki maupun wanita. Adapun bila warna hitam tersebut dicampur dengan warna lain, atau dengan inai, maka yang demikian ini diperbolehkan, tidak termasuk dalam larangan.

Dengan adanya larangan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam ini, maka wajib bagi seorang muslim untuk menghindari menyemir rambutnya dengan warna. Selain itu, seseorang yang menyemir rambutnya dengan warna hitam seolah-olah menentang sunnatullah (ketetapan Allah) pada ciptaan-Nya.

Sebagaimana dimaklumi, rambut seseorang di masa mudanya berwarna hitam, namun kemudian memutih karena usia atau karena hal lain. Orang yang mengalami keadaan ini berusaha menolak ketetapan Allah dengan menghitamkannya kembali. Maka yang demikian ini termasuk mengubah ciptaan Allah Subhanahu wa Ta’ala. Selain itu, seseorang yang menyemir rambutnya dengan warna hitam untuk menutupi kenyataan bahwa ia telah tua dan beruban, pada kenyataannya juga tidak sepenuhnya dapat menyembunyikan keberadaan ubannya. Karena bagaimanapun tetap akan nampak bahwa rambutnya itu hasil semiran dan pangkal rambutnya akan tetap berwarna putih.

2. Selain uban hendaknya dibiarkan sebagaimana aslinya dan tidak dirubah/disemir. Kecuali jika warna rambutnya tersebut dianggap jelek, maka boleh disemir dengan warna yang sesuai, sekedar untuk menghilangkan warna yang jelek tersebut. Sedangkan rambut lainnya yang tidak ada masalah padanya maka dibiarkan sebagaimana aslinya karena tidak ada keperluan untuk mengubahnya.

Juga ditanyakan kepada kedua syaikh tentang hukum menyemir sebagian rambut atau menyemir beberapa bagian rambut wanita dengan warna yang berbeda dari warna aslinya, baik itu dengan warna putih, merah, ataupun pirang keemasan, sehingga sebagian rambutnya berwarna asli dan pada bagian yang lain terwarnai.

Keduanya menyatakan, dikhawatirkan hal itu menyerupai wanita kafir jika model demikian bersumber dari mereka. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
“Siapa yang menyerupai suatu kaum maka ia termasuk golongan mereka.” (HR. Abu Dawud, Asy-Syaikh Al-Albani berkata dalam Jilbab Al-Mar’ah Al-Muslimah hal. 204: “Isnadnya shahih”)

Asy-Syaikh Al-Albani menyatakan wajib bagi setiap muslim, laki-laji maupun wanita, untuk memperhatikan perkara tasyabbuh ini dalam seluruh keadaan mereka, khususnya dalam penampilan dan pakaian mereka…”. (Jilbab Al-Mar’ah, hal. 206)

Dan tentunya masalah penataan dan pemodelan rambut juga termasuk dalam ketentuan di atas.

Wallahu a’lam bish-shawab.

Sumber: Majalah Asy Syari’ah, No. 02/I/Sya’ban 1424 H/September 2003, hal. 78-79.

Dalil tentang Haramnya Makan Daging Anjing

Pertanyaan : Haramkah makan daging anjing ?

Jawab:

Makan daging anjing hukumnya adalah haram, ada dua alasan menunjukkan haramnya.

1. Anjing terhitung dari As-Siba’ (hewan buas), dan As-Siba’ termasuk hewan yang haram dimakan sebagaimana yang ditunjukkan oleh dalil yang sangat banyak.

2. Dalam hadits Abu Mas’ud Al-Anshory riwayat Bukhary-Muslim beliau berkata (yang artinya): “Sesungguhnya Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa alihi wa sallam melarang dari harga anjing.”

Kalau harganya terlarang, maka dagingnya pun haram. Sebagaimana dalam sabda Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa alihi wa sallam (yang artinya):

“Sesungguhnya Allah kalau mengharamkan kepada suatu kaum memakan sesuatu maka (Allah) haramkan harganya atas mereka.”

Diriwayatkan oleh Asy-Syafi’iy dalam Musnadnya no. 269, Ahmad dalam Musnadnya 1/247, 293 dan 322, Abu Daud no. 3488, Ibnul Mundzir dalam Al-Ausath 2/281, Abu ‘Awanah dalam Musnadnya 3/371, Ibnu Hibban sebagaimana dalam Al-Ihsan no. 4938, Ad-Daraquthny 3/7, Al-Baihaqy 6/13 dan 9/353, Ath-Thobarany no. 12887, Al-Maqdasy dalam Al Mukhtarah 9/511, Ibnul Jauzy dalam At-Tahqiq no. 1475, dan Ibnu ‘Abdil Barr dalam At-Tamhid 9/44 dan 17/402-403 dan sanadnya shohih sebagaimana dalam Tuhfatul Muhtaj 2/204.

Lihat : Ad-Darary Al-Mudhiyyah.

[www.an-nashihah.com]

Sumber: http://ghuroba.blogsome.com/2008/05/18/dalil-tentang-haramnya-makan-daging-anjing/